Mitologi Yunani adalah sekumpulan
mitos dan
legenda yang berasal dari
Yunani Kuno dan berisi kisah-kisah mengenai
dewa dan
pahlawan,
sifat dunia, dan asal usul serta makna dari praktik
ritual dan
kultus orang Yunani Kuno. Mitologi Yunani merupakan bagian dari
agama di Yunani Kuno. Para sejarawan modern mempelajari mitologi Yunani untuk mengetahui keadaan politik, agama, dan peradaban di Yunani Kuno, serta untuk memperoleh pemahaman mengenai pembentukan mitos itu sendiri.
[1]
Kebanyakan dewa Yunani digambarkan seperti
manusia, dilahirkan namun tak akan tua, kebal terhadap apapun, bisa tak terlihat, dan tiap dewa mempunyai karakteristik tersendiri. Karena itu, para dewa juga memiliki nama-nama gelar untuk tiap karakternya, yang mungkin lebih dari satu. Dewa-dewi ini kadang-kadang membantu manusia, dan bahkan menjalin hubungan cinta dengan manusia yang menghasilkan anak, yang merupakan setengah manusia
setengah dewa. Anak-anak itulah yang kemudian dikenal sebagai
pahlawan.
Mitologi Yunani secara eksplisit terdapat dalam kumpulan cerita dan karya seni Yunani Kuno, seperti pada
lukisan vas dan benda-benda ritual untuk dewa. Mitologi Yunani menjelaskan asal mula dunia serta menceritakan kehidupan dan petualangan berbagai
dewa, dewi, pahlawan, dan
makhluk-makhluk mitologi. Mitologi Yunani pada awalnya disebarkan melalui
tradisi lisan. Saat ini sebagian besar informasi mengenai mitologi Yunani diperoleh dari
sastra Yunani.
Sumber literatur Yunani tertua—yakni
wiracarita Iliad dan
Odisseia—berisi kisah yang berpusat pada peristiwa mengenai
Perang Troya. Sementara, dua puisi karya
Hesiodos—
Theogonia dan
Erga kai Hemerai—menceritakan mengenai penciptaan dunia, pergantian kekuasaan dewa, pergantian zaman manusia, asal mula kesengsaraan manusia, dan asal mula ritual
kurban. Mitologi Yunani juga terdapat dalam
Himne Homeros, potongan-potongan
wiracarita dari
Siklus Epik, karya seni
tragedi dari abad kelima, tulisan-tulisan para sejarawan dan penyair dari zaman Yunani Kuno, serta naskah kuno dari
Kekaisaran Romawi karya penulis-penulis seperti
Plutarkhos dan
Pausanias.
Penemuan-penemuan
arkeologi telah menunjukkan sumber-sumber penting mengenai rincian mitologi Yunani, di mana para dewa dan
pahlawan banyak muncul dalam dekorasi pada banyak sekali artefak. Desain geometris pada tembikar dari abad kedelapan SM menggambarkan adegan-adegan dari siklus Troya selain daripada petualangan
Herakles. Pada masa-masa yang saling berkelanjutan—yaitu periode
Arkais,
Klasik, dan
Hellenistik—muncul berbagai sumber mitologi Yunani, seperti dari Homeros. Sumber-sumber itu menambah berbagai bukti yang sudah ada.
[2]
Mitologi Yunani telah banyak memengaruhi budaya, seni, dan sastra
dunia Barat dan terus menjadi bagian dari warisan dan bahasa Barat. Sejak masa kuno hingga sekarang, banyak penyair dan seniman yang mengambil inspirasi dari mitologi Yunani, dan menemukan banyak relevansi dan makna kontemporer dalam tema-tema mitologi Yunani.
[3]
Informasi mengenai mitologi Yunani yang diketahui pada masa sekarang sebagian besar diperoleh dari karya
sastra Yunani dan penggambaran pada media visual yang berasal dari
Periode Geometrik, yaitu sekitar abad 900-800 SM.
[4]
|
| |
Kiri: Sampul depan Iliad edisi bahasa Katala (1879), diterjemahkan oleh Conrad Roure. Kanan: Sampul depan Iliad edisi bahasa Indonesia (2011), diterjemahkan oleh Asep Rachmatullah. Iliad karya Homeros merupakan salah satu naskah kuno mengenai mitologi Yunani yang paling terkenal. |
Narasi mitis memainkan peranan penting dalam hampir setiap genre sastra Yunani. Meskipun demikian, satu-satunya buku pedoman mitografi umum yang masih bertahan dari masa antikuitas Yunani hanyalah
Bibliotheke buatan
Pseudo-Apollodoros. Karya itu berusaha mendamaikan kisah-kisah kontradiktif dari para penyair serta menyediakan ikhtisar lengkap mengenai legenda kepahlawanan dan mitologi Yunani tradisional.
[5] Apollodoros hidup pada tahun 180–120 SM dan banyak menulis mengenai topik tersebut. Tulisan-tulisannya kemungkinan membentuk dasar bagi karya-karya selanjutnya. Akan tetapi
Bibliotheke menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi lama setelah Apollodoros meninggal, karena itulah pembuatnya dinamai Pseudo-Apollodoros.
Di antara sumber-sumber sastra terawal adalah dua wiracarita karya
Homeros, yaitu
Iliad dan
Odisseia. Para penyair lainnya ikut membuat wiracarita yang melengkapi
Siklus Epik, namun sajak-sajak ini hampir keseluruhannya telah hilang. Ada pula kumpulan sajak yang dinamai
Himne Homeros. Akan tetapi, terlepas dari namanya, Himne Homeros tidak punya kaitan langsung dengan Homeros. Sajak-sajak dalam
Himne Homeros adalah himne-himne paduan suara yang berasal dari bagian yang lebih awal dari apa yang disebut sebagai
Zaman Lira.
[6] Hesiodos, yang diperkirakan hidup sezaman dengan Homeros, menulis karya berjudul
Theogonia ("Asal-usul Para Dewa). Wiracarita tersebut merupakan salah satu naskah terlengkap mengenai mitos Yunani awal dan menceritakan tentang penciptaan dunia; asal muasal para dewa,
Titan, dan
Gigant; selain juga menguraikan silsilah, folklor, dan mitos etiologi. Karya Hesiodos lainnya, yaitu
Erga kai Hemerai, merupakan puisi didaktik yang bercerita mengenai kehidupan bertani, selain juga meliputi mitos
Prometheus,
Pandora, serta
Lima Zaman Manusia. Hesiodos juga memberi nasehat bagaimana cara supaya dapat berhasil dalam menjalani hidup di dunia yang berbahaya ini, yang oleh para dewa dibuat menjadi lebih berbahaya.
[2]
Para penyair lira sering mengambil tema-tema dari mitologi dan memasukkannya ke dalam sajak-sajak mereka. Namun mereka menyampaikannya dengan cara yang kurang naratif dan cenderung lebih alusif. Para penyair lira Yunani di antaranya adalah
Pindaros,
Bakkhylides,
Simonides dan penyair pedesaan semacam
Theokritos atau
Bion. Masing-masing mengisahkan insiden-insiden mitologi secara individual.
[7] Selain digunakan dalam sajak lira, tema-tema dalam mitologi Yunani juga sangat sentral bagi
drama-drama Athena. Penulis drama
tragedi seperti
Aiskhilos,
Sofokles, dan
Euripides mengambil sebagian besar plot cerita mereka dari mitos-mitos mengenai zaman kepahlawanan dan Perang Troya. Banyak cerita tragedi (misalnya cerita
Agamemnon dan anak-anaknya,
Oidipus,
Iason,
Medeia, dll) yang bentuk klasiknya muncul dalam drama-drama tragedi itu. Penulis drama
Aristofanes juga menggunakan mitos Yunani dalam dramanya, di antaranya dalam drama yang berjudul
Ornithes ("Burung") dan
Batrakhoi ("Katak").
[8]
Sejarawan
Herodotos dan
Diodoros Sikolos, serta geografer
Pausanias dan
Strabo, melakukan perjalanan keliling dunia Yunani dan mencatat cerita-cerita yang mereka dengar. Sebagai hasil dari perjalanannya, mereka berhasil menjabarkan banyak sekali legenda dan mitos lokal dalam tulisan-tulisan mereka, kadang mereka memberikan versi alternatif yang kurang dikenal.
[7] Herodotos secara khusus mempelajari berbagai tradisi yang dia kenal dan menyimpulkan bahwa banyak kisah mitologis yang sebenarnya memiliki asal-usul historis dari perseturuan antara Yunani dan Dunia Timur.
[9][10] Herodotos berupaya untuk mempertemukan asal-usul dan pencampuran konsep budaya yang berbeda itu.
Sajak-sajak dari zaman
Hellenistik dan
Romawi kuno kebanyakan disusun untuk tujuan sastra ketimbang untuk kultus pemujaan. Meskipun demikian, semua itu mengandung banyak rincian penting yang mungkin saja dapat hilang. Dalam kategori ini, terdapat karya-karya dari :
- Para penyair Romawi, contohnya Ovidius, Statius, Valerius Flaccus, Seneca, dan Virgilus dengan uraian dari Servius.
- Para penyair Yunani dari periode Antik Akhir, yaitu Nonnos, Antoninos Liberalis, dan Kointos Smyrnaios.
- Para penyair Yunani dari periode Hellenistik, antara lain Apollonios dari Rodos, Kallimakhos, Pseudo-Eratosthenes, dand Parthenios.
- Para penulis novel dari Yunani dan Romawi, di antaranya adalah Apuleius, Petronius, Lollianus, dan Heliodoros.
Naskah kuno
Fabulae dan
Astronomica buatan penulis Romawi, Pseudo-
Hyginus, adalah dua kompendium mitos non-puitis yang sangat penting.
Eikones buatan
Filostratos Tua dan
Filostratos Muda serta
Ekhpraseis buatan
Kallistratos adalah dua sumber sastra lainnya yang juga mengambil tema dari mitologi.
Pada akhirnya,
Arnobius dan sejumlah penulis Yunani Bizantium menyediakan rincian penting mitos, kebanyakan diambil dari karya-karya Yunani lebih awal yang kini telah hilang. Naskah kuno yang memelihhara mitos itu di antaranya adalah leksikon buatan
Hesikhios,
Suda, dan risalah-risalah buatan
Yohanes Tzetzes dan
Eustathios. Pandangan moral Kristen terhadap mitologi Yunani terangkum dalam perkataan,
ἐν παντὶ μύθῳ καὶ τὸ Δαιδάλου μύσος /
en panti muthōi kai to Daidalou musos ("Dalam setiap mitos ada pencemaran Daidalos"). Dalam gaya ini,
Suda yang ensiklopedis menceritakan peran
Daidalos dalam rangka memuaskan "nafsu berahi"
Pasifae yang "tak wajar" kepada
banteng kiriman Poseidon: "Karena asal mula dan kesalahan dialamatkan kepada Daidalos dan dia dibenci untuk itu, dia pun menjadi subyek pepatah itu."
[11]
Penemuan
Peradaban Mykenai oleh
arkeolog amatir Jerman,
Heinrich Schliemann, pada abad kesembilan belas, serta penemuan
Peradaban Minoa di
Kreta oleh arkeolog Britania, Sir
Arthur Evans, pada abad kedua puluh, banyak membantu dalam menjelaskan beragam pertanyaan tentang epik Homeros dan menyediakan bukti-bukti arkeologis bagi banyak rincian mitologis mengenai para dewa dan pahlawan Yunani. Sayangnya, bukti tentang mitos dan ritual di situs-situs arkeologi Mykenai seluruhnya bersifat monumental, seperti misalnya naskah
Linear B yang digunakan terutama untuk mencatat invantaris, meskipun pada naskah tersebut ditemukan juga nama-nama dewa dan pahlawan. Linear B sendiri merupakan suatu bentuk tulisan Yunani yang sangat kuno yang ditemukan di Kreta dan di Yunani daratan.
[2]
Desain geometris pada tembikar dan gerabah dari abad kedelapan SM menggambakan adegan-adegan dari siklus
Troya, selain juga petualangan
Herakles.
[2] Penggambaran mitos secara visual menjadi penting karena dua alasan. Alasan pertama adalah bahwa banyak mitos Yunani yang diceritakan melalui vas lebih dulu daripada melalui karya sastra; dari dua belas tugas Herakles, misalnya, hanya tugas menangkap
Kerberos saja yang diceritakan dalam karya sastra kontemporer.
[12] Alasan lainnya adalah bahwa sumber-sumber visual seringkali menggambarkan adegan mitos dan mitis yang tidak dikisahkan dalam sumber sastra manapun. Dalam beberapa kasus, penggambaran awal mitos dalam seni geometris lebih dulu muncul daripada penggambarannya pada sajak arkais akhir, dan perbedaan waktunya bisa mencapai beberapa abad.
[4] Pada periode
Arkais (750–500 SM),
Klasik (480–323 SM), dan
Hellenistik (323–146 SM), banyak bermunculan penggambaran pada tembikar yang memperlihatkan adegan-adegan dari karya Homeros dan adegan-adegan mitologis lainnya, yang ikut melengkapi bukti sastra yang sudah ada.
[2]
Mitologi Yunani telah berkembang seiring waktu demi menyesuaikan dengan perkembangan budaya Yunani itu sendiri, yang mana mitologi, baik secara terang-terangan maupun dalam asumsi-asumsi tak terucapkan, merupakan suatu indeks perubahan. Dalam bentuk sastra mitologi Yunani yang masih tersisa, seperti dapat ditemukan kebanyakan pada akhir perubahan yang progresif, pada dasarnya bersifat politik, seperti yang dikemukakan oleh Gilbert Cuthbertson.
[13]
Penghuni
Semenanjung Balkan yang lebih awal merupakan masyarakat agraris yang menganut
Animisme dan mempercayai keberadaan roh pada setiap unsur alam. Dalam perkembangan selanjutnya, roh-roh yang samar-samar itu diberikan wujud manusia dan terlibat dalam mitologi lokal sebagai dewa.
[14] Kemudian muncul suku-suku dari sebelah utara semenanjung Balkan yang datang menyerang. Dalam invasinya, mereka membawa serta kepercayaan baru yang di dalamnya terdapat
pantheon dewa-dewa baru, yang didasarkan pada penaklukan, keberanian dalam perang, dan kepahlawanan yang kejam. Dewa-dewa yang telah lebih dulu ada kemudian menyatu dengan dewa sembahan para penyerang yang lebih kuat. Semantara dewa-dewa yang tidak terasimilasi akhirnya menghilang dan tak lagi dianggap penting.
[15]
Setelah pertengahan periode Arkais, mitos mengenai hubungan cinta dan seksual antara dewa pria dengan manusia pria muncul lebih sering, mengindikasikan adanya perkembangan yang paralel dengan
pejantanan pedagogis (Eros paidikos, παιδικός ἔρως), yang dpercaya telah diperkenalkan sekitar tahun 630 SM. Pada akhir abad kelima SM, para penyair telah memberikan setidaknya satu
eromenos (pemuda remaja yang menjadi pasangan untuk hubungan seksual) untuk setiap dewa yang penting kecuali dewa
Ares. Kekasih pria juga dimiliki oleh para tokoh-tokoh manusia yang legendaris.
[16] Mitos yang telah ada sebelumnya, seperti misalnya hubungan persahabatan antara
Akhilles dan
Patroklos, juga dijadikan
hubungan cinta sesama jenis.
[17] Fenomena ini dimulai oleh para penyair Iskandariyah, dan kemudian dilakukan juga oleh para mitografer yang lebih umum di Kekaisaran Romawi awal. Mereka sering mengadaptasi ulang cerita-cerita mitologi Yunani dengan gaya itu.
Pencapaian dibuatnya wiracarita adalah untuk menciptakan siklus cerita dan, sebagai akibatnya, untuk mengembangkan pemahaman baru mengenai kronologi mitologis. Jadi mitologi Yunani terungkap sebagai fase dalam perkembangan dunia dan manusia.
[18] Sementara kontradiksi-diri dalam cerita-ceritanya menjadikan tidak mungkin untuk adanya garis waktu yang mutlak, namun suatu kronologi yang mendekati itu dapat dilihat. "Sejarah dunia" mitologi yang dihasilkan kemudian, dapat dibagi menjadi tiga atau empat periode yang cakupannya cukup luas, yaitu:
- Mitos asal usul atau zaman para dewa (Theogonia, "kelahiran para dewa"): mitos tentang asal mula dunia, para dewa, dan umat manusa.
- Zaman ketika dewa dan manusia hidup bersama-sama: kisah-kisah mengenai interaksi awal antara para dewa, setengah dewa, dan manusia.
- Zaman para pahlawan (zaman kepahlawanan), ketika intervensi para dewa mulai berkurang. Kisah yang terakhir dan terhebat dari legenda kepahlawanan adalah cerita Perang Troya dan kisah-kisah setelahnya, yang oleh beberapa sejarawan dipisahkan menjadi periode keempat yang terpisah.[19]
Walaupun zaman para dewa banyak menarik minat para para pelajar kontemporer untuk mempelajari mitologi Yunani, namun para penulis Yunani Kuno pada masa Arkais dan Klasik jelas-jelas lebih menyukai zaman kepahlawanan. Mereka juga membuat suatu kronologi dan catatan pencapaian manusia setelah pertanyaan mengenai bagaimana dunia ini berwujud, terjelaskan. Sebagai contoh,
Iliad dan
Odisseia yang heroik jauh lebih panjang dan terkenal daripada
Theogonia dan Himne Homeros, yang lebih berfokus pada kisah para dewa. Di bawah pengaruh Homeros, "pemujaan pahlawan" berujung pada penataan ulang kehidupan spiritual, yang ditunjukkan dengan adanya pemisahan ranah kekuasaan para dewa dari ranah kekuasaan para pahlawan yang telah meninggal, serta pemisahan ranah
Khthonik dari ranah
Olimpus.
[20]
Dalam
Erga kai hemerai. Hesiodos menggunakan skema Empat
Zaman (atau Ras) Manusia. Keempat zaman yang disebutkan olehnya yaitu Zaman Emas, Zaman Perak, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Semua zaman atau ras tersebut merupaan ciptaan dewa yang berbeda-beda, Zaman Emas berlangsung selama kekuasaan
Kronos, sedangkan Zaman Perak terjadi di bawah pemerintahan
Zeus. Hesiodos kemudian menambahkan Zaman (atau Ras) Pahlawan tepat setelah Zaman
Perunggu. Zaman terakhir adalah
Zaman Besi, yang merupakan periode kontemporer dimana Hesiodos hidup. Hesiodos menceritakan bahwa Zaman Besi adalah masa yang terburuk. Kejahatan yang ada di dunia dijelaskan melalui mitos
Pandora, ketika semua hal buruk, seperti misalnya penyakit, kejahatan, kesengsaraan, dll, yang tersimpan dalam
Kotak Pandora berhasil keluar dan menjangkiti umat manusia. Namun di dalam kotak tersebut masih tersisa satu benda yang sulit untuk keluar, yakni harapan.
[21] Sementara itu dalam karyanya,
Metamorphoses,
Ovidius juga mengikuti konsep Hesiodos dan mengisahkan empat zaman yang dialami oleh umat manusia.
[22]
Menurut Edith Hamilton, karakteristik mitologi Yunani adalah adanya upaya orang Yunanii kuno untuk mengurangi tingkat kebiadaban dalam mitologi mereka. Selain itu mitologi Yunani tidak banyak berisi hal-hal supranatural; tidak ada penyihir pria dan hanya ada dua orang penyihir wanita, juga tidak ada cerita mengenai hantu yang menakutkan atau
astrologi yang mempengaruhi nasib manusia.
[23]
[sunting] Zaman para dewa
Pengebirian Uranus: lukisan dinding oleh Vasari &
Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala di Cosimo I, Palazzo Vecchio, Firenze).
[sunting] Kosmogoni dan kosmologi
"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.
[24] Versi yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah filosofis mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh
Hesiodos, dalam karyanya
Theogonia. Dia mulai dengan
Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini muncullah
Gaia atau Gê (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah
Eros (Cinta),
Tartaros (Perut bumi),
Erebos (Kegelapan), dan
Niks (Malam). Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan
Aither (Langit atas) dan
Hemera (Siang).
[25] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan
Uranus (dewa langit) dan
Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para
Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria, yaitu
Koios,
Krios,
Kronos,
Hiperion,
Iapetos, dan
Okeanos, serta enam Titan wanita, yaitu
Mnemosine,
Foibe,
Rea,
Theia,
Themis, dand
Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus memutuskan bahwa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para
Kiklops (raksasa bermata satu) dan
Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.
[26] Gaia marah atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",
[25] melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak buahnya.
Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi oleh putranya,
Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati ayahnya, dia takut bahwa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui
Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali
Atlas, dikurung di Tartaros.
[27] Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.
Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahwa putra dari istri pertamanya,
Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi
Athena yang sudah mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahwa ketika kisah ini muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota
Athena. Pemujaan itu kemudian berubah menjadi
pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa konflik.
Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahwa theogonia (cerita kelahiran para dewa) sebagai genre puitis prototipe-
mythos prototipikal—dan menghubungkan banyak kekuasaan di dalamnya.
Orfeus, seorang penyair
arketipal, juga merupakan seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam
Argonautika buatan
Apollonios, dikisahkan bahwa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para
dewa dunia bawah dalam perjalanannya ke
dunia bawah. Dalam
Himne Homeros untuk Hermes, ketika
Hermes menciptakan
lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para dewa.
[28] Theogonia buatan Hesiodos bukan hanya naskah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, namun juga naskah terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para
Mousai. Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus,
Mousaios,
Epimenides,
Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan
ritus-ritus misteri. Ada indikasi bahwa
Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.
[29] Namun, informasi mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul pada aspek-aspek yang cukup umum.
Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bagian dari karya-karya ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf
Neoplatonis dan baru-baru ini terungkap melalui potongan-potongan
papirus. Salah satu adalah
Papirus Derveni, yang kini membuktikan bahwa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan
Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada
Niks (dewi malam) sebagai perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.
[30] Disebutkan pula bahwa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.
Para kosmolog filsafat dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak
Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang terapung di samudra luas yang disebut
Okeanos dan di bagian atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang. Matahari (
Helios) mengarungi langit dengan
kereta perangnya pada siang hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit, sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin oleh dewa Hades.
[31] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.
[sunting] Pantheon Yunani
Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan,
Pantheon dewa dan
dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para
dewa Olimpus, yang tinggal di puncak
Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus. Gagasan yang membatasi bahwa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa modern.
[32] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewa-
satir Pan dan para
nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri terdiri dari para
Naiad (nimfa mata air),
Driad (nimfa pohon), dan
Nereid (nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para
Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarga sendiri.
[33] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para dewa).
[34] Gregory Nagy menganggap bahwa "Himne Homeros adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan dengan
Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-beda'.
[35]
Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut
Walter Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".
[36] Menurut Edith Hamilton, penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh orang Yunani kuno.
[23] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi
nektar dan
ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terus-menerus diperbaharui.
[37] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut lebih mulia dari pada dewa.
[23]
Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan, keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah
Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "
Apollo, pemimpin para
Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.
Patung
Dionisos dan
satir. Dibuat dari marmer. Salinan
Romawi (abad ke-2 M) dari patung asli Yunani. Dionisos adalah dewa
anggur dan merupakan salah satu dewa yang memiliki karakteristik yang kompleks.
Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahwa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut
Walter Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahwa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".
[36] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahwa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahwa keabadian adalah karakteristik paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumis
nektar dan
ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh para dewa terus-menerus diperbaharui.
[37]
Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan, keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi penggambaran para dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang mengidentifikasikan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah
Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "
Apollo, pemimpin para
Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.
Sebagian besar dewa diasosiasikan dengan apek tertentu dalam kehidupan manusia. Contohnya,
Afrodit adalah dewi cinta dan kecantikan,
Ares adalah dewa perang,
Hades dewa orang mati, dan
Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.
[38] Beberapa dewa, misalnya
Apollo dan
Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan kepribadian yang kompleks, sedangkan yang lainnya, seperti
Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan
Helios (secara harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi.
kuil-kuil yang paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja, yaitu dewa-dewa yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim pula bahwa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan
pahlawan (atau
setengah dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.
[sunting] Zaman para dewa dan manusia
Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam
Metamorphoses karya
Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik, yaitu cerita cinta, dan cerita hukuman.
[39]
Kisah cinta seringkali melibatkan
hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut
pahlawan. Kisah-kisah yang ada secara umum menunjukkan bahwa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.
[40] Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria, seperti misalnya dalam
Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahwa dewi Afrodit berhubungan seksual dengan
Ankhises dan melahirkan
Aineias.
[41]
Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman, yaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika
Prometheus mencuri api dari para dewa, ketika
Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para dewa, ketika Prometheus atau
Likaon menciptakan ritual kurban, ketika
Demeter mengajarkan
pertanian dan
Misteri kepada
Triptolemos, atau ketika
Marsias menciptakan
aulos dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahwa kisah Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".
[42] Suatu fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja
Thrakia,
Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahwa Dionisos adalah seorang dewa. Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berujung kematian.
[43] Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia, juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.
[44] Dalam drama tragedi lainnya, yaitu
Bakkhai gubahan Euripides, dikisahkan bahwa raja
Thebes,
Pentheus, dihukum oleh Dionisos karena dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para
Mainad, sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.
[45]
Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,
[46] serta mengulangi tema yang sama, dikisahkan bahwa
Demeter berusaha mencari putrinya,
Persefone. Dalam pencariannya, Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan yang ramah dari
Keleus, Raja
Eleusis di
Attika. Sebagai balasan atas kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka,
Demofon, sebagai dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya karena ibu sang anak,
Metaneira, melihat Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.
[47]
[sunting] Zaman Pahlawan
Lukisan dinding di
Pompeii yang menggambarkan
Perseus dan
Andromeda. Perseus adalah pahlawan Yunani dari generasi awal.
Periode ketika para pahlawan hidup disebut dengan istilah
Zaman Pahlawan.
[48] Sajak-sajak epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa tertentu, serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; ceita-cerita itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling berurutan".
[18]
Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.
[20] Berlawanan dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, namun pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahwa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.
[20]
Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah
Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar, yaitu ekspedisi
para Argonaut,
Siklus Thebes dan
Perang Troya.
[49]
[sunting] Herakles dan para Heraklid
Beberapa sejarawan percaya
[50] bahwa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan
Argos. Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahwa kisah Herakles adalah alegori untuk perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang
zodiak[51] Sementara yang lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan menunjukkan bahwa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putra dari Zeus dan
Alkmene, cucu perempuan
Perseus.
[52] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema
cerita rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou, drama
Herakles gubahan
Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama Euripides lainnya".
[53] Dalam sastra dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering membawa
gada. Herakles sangat populer dalam
tembikar Yunani Kuno, pertarungannya dengan
Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahwa dia adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.
[54]
Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai
Herkules, dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya "Herakleis" untuk orang Yunani.
[54] Di
Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang, meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta penyelamatan dari marabahaya.
[52]
Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur resmi para raja
Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria untuk bermigrasi ke
Peloponnesos.
Hillos, pahlawan eponim dari satu
phyle Doria, menjadi putra Herakles dan merupakan salah satu
Herakleidai atau
Heraklid. Heraklid sendiri merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di antaranya adalah
Makaria,
Lamos,
Manto,
Bianor,
Tlepolemos, dan
Telefos. Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain
Mikenai,
Sparta dan
Argos. Menurut legenda, mereka mengklaim bahwa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai "
Invasi Doria". Para raja
Lydia, dan kelak
Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan para Heraklid.
[55]
Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya
Perseus,
Deukalion,
Theseus dan
Bellerofon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian. Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas
dongeng, karena mereka menghadapi monster-monster semacam
Khimaira,
Medusa, dan
Minotaur. Petualangan Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.
[56]
-
Untuk detail lebih lanjut tentang topik ini, lihat Argonaut.
Satu-satunya wiracarita hellenistik yang masih bertahan, yaitu
Argonautika buatan
Apollonios dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di
Perpustakaan Iskandariyah), menceritakan tentang pelayaran
Iason dan para
Argonaut untuk memperoleh
Bulu Domba Emas dari tanah
Kolkhis yang mitis. Dalam
Argonautika, Iason disuruh oleh raja
Pelias di istana sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya. Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason dalan kapal
Argo untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam rombongan Argonaut meliputi
Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh
Minotaur;
Atalanta, sang pahlawan wanita; dan
Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri menyaingi
Iliad dan
Odisseia.
Pindaros,
Apollonios dan
Apollodoros berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok perjalanan Argonaut.
[57]
Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara
Odisseia dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan
Odisseus mungkin didasarkan pada cerita Argonaut).
[58] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke
Laut Hitam.
[59] Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan dengan sejumlah legenda lokal. Cerita
Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .
[60]
[sunting] Wangsa Atreus
Pada periode antara petualangan Argonaut dan Perang Troya, ada sebuah generasi yang cukup dikenal karena kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan
Atreus dan
Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa
Labdakos) terdapat suatu masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.
[61]
[sunting] Siklus Thebes
Siklus Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan
Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatan-perbuatan
Laios dan
Oidipus di Thebes. Jadi, Siklus Thebes adalah serangkaian cerita yang berujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para
Epigoni.
[62]
Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal. Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal nampaknya mengisahkan bahwa dia melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahwa
Iokaste adalah ibunya, dan kemudian menikahi istri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-drama tragedi, misalnya
Oidipus Sang Raja gubahan
Sofokles serta naskah-naskah mitologi selanjutnya.
[63]
[sunting] Perang Troya
Mitologi Yunani berpuncak pada
Perang Troya serta peristiwa-peristwia setelahnya. Perang Troya terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota
Troya di Asia Kecil. Dalam karya-karya Homeros, misalnya
Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang Troya juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam
budaya Romawi karena adanya kisah mengenai
Aineias, seorang pahlawan Troya yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troya dihancurkan. Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian menjadi kota
Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam
Aeneid karya
Virgilus. Buku satu dalam
Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troya.
[64] Sumber lainnya mengenai Perang Troya adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang ditulis atas nama
Diktis Kretensis dan
Dares Phrygios.
[65]
Siklus Perang Troya, suatu kumpulan
wiracarita mengena Perang Troya, dimulai dengan sejumlah peristiwa yang kemudian berujung pada peperangan, antara lain kisah tentang
Eris dan
apel emas Kallistinya,
Keputusan Paris, penculikan
Helene, dan pengurbanan
Ifigeneia di
Aulis. Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah komando saudara
Menelaos, yakni
Agamemnon, raja
Argos atau
Mykenai. Namun pihak Troya tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus menggunakan cara-cara kekerasan.
Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang Troya, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan
Akhilles, yang merupakan salah satu prajurit Yunani terhebat.
Iliad juga menceritakan kematian
Patroklos, sahabat dan kekasih pria Akhilles, yang mengabaikan nasehat Akhilles sehingga pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh
Hektor, putra sulung
Priamos. Akhilles marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak Troya dibantu oleh dua sekutu tambahan, yaitu
Penthesileia, ratu
suku Amazon, dan
Memnon, raja
Ethiopia dan putra
Eos, dewi fajar.
[66] Akhilles membunuh keduanya, namun kemudian Paris berhasil membunuh Akhilles dengan cara memanahnya di bagian tumitnya. Tumit Akhilles adalah satu-satunya bagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat menaklukan Troya, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil
Palladium (patung kayu Athena) dari kuil di Troya. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena, pasukan Yunani membuat sebuah
kuda kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troya. Sebenarnya
Kassandra, putri Priamos, sudah memperingatkan bahwa kuda itu berbahaya, akan tetapi rakyat Troya dipengaruhi oleh
Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troya pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai persembahan untuk dewi Athena.
Laokoon, seorang pendeta mencoba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troya, sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang Troya. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troya. Priamos dan semua putranya dibantai, sedangkan semua wanita Troya dijadikan budak dan dijual ke berbagai kota di Yunani.
Dua wiracarita kuno, yaitu
Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan
Odisseia karya Homeros, menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troya (termasuk pengembaraan
Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias diceritakan dalam wiracarita
Aeneid.
[67] Siklus Perang Troya juga meliputi kisah-kisah petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troya, seperti msialnya
Orestes dan
Telemakhos.
[66]
Perang Troya memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troya adalah
metope di kuil
Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troya. Pilihan artistik ini, yang mengambil tema dari Siklus Troya, mengindikasikan bahwa ksiah itu sangat penting bagi peradaban Yunani Kuno.
[67] Kisah Perang Troya juga mengilhami serangkaian tulisan sastra Eropa posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troya di Eropa Abad Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan dan cerita romantis dalam legenda Troya serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria, kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya
Benoît de Sainte-Maure (
Roman de Troie [Roman Troya, 1154–60]) dan
Joseph dari Exeter (
De Bello Troiano [Mengenai Perang Troya, 1183]) menggambarkan peperangan di Troya sambil menulis kembali versi standar yang mereka temukan dari naskah kuno karya
Diktis dan
Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti nasehat-nasehat
Horatius dan contoh-contoh
Virgilus, yaitu mereka menulis kembali sajak Troya dan bukannya menulis sesuatu yang benar-benar baru.
[68]
Mitologi merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.
[69] Orang Yunani Kuno memandang mitologi sebagai bagian dari sejarah mereka. Mereka menggunakan mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya, permusuhan dan persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita dipercaya sebagai keturunan dewa atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno yang meragukan kebenaran di balik kisah Perang Troya dalam
Iliad dan
Odisseia. Menurut
Victor Davis Hanson, seorang ahli
sejarah militer,
kolomnis, penulis esai politik dan mantan profesor
Klasika, serta John Heath, profesor Klasika di
Santa Clara University, pengetahuan yang mendalam yang terdapat pada
epos Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai basis akulturasi mereka. Homeros merupakan "pendidikan Yunani" (Ἑλλάδος παίδευσις), dan sajak-sajaknya merupakan "buku".
[70]
Setelah kebangkitan
filsafat, sejarah, prosa dan
rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh
Thukydides.
[71] Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.
[6]
Beberapa filsuf radikal semacam
Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan bahwa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6 SM. Xenofanes mengeluh bahwa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu sama lain".
[72]
Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya
Plato, yakni
Republik and
Hukum. Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam
Republik. Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian, dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato memandang mitos sebagai "obrolan istri-istri tua".
[73] Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastra.
[6] Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.
[70]
Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan filosofis quasi-mitis pra-Sokrates dan menekankan bahwa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada gnanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika mereka secara saksama".
[71]
Namun demikian, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk
Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:
[74]
“ | Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu, Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini berada dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,
- Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera meninggal; karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu. (Homeros, Iliad, 18.96)
Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,
- Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung, sebuah beban untuk bumi.
| ” |
Hanson dan Heath memperkirakan bahwa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.
[70] Mito-mitos lama dijaga untuk tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.
[71]
Lebih sportif lagi,
penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali bermain-main dengan tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia menyisipkan sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya diambil, tanpa kecuali, dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama meragukan mitos tentang para dewa dan mulai mengkiritik dengan keberatan-keberatan yang sebelumnya telah diungkapkan oleh
Xenokrates, yaitu bahwa para dewa, seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno, secara kasar terlalu
antropomorfis.
[72]
[sunting] Rasionalisme Hellenistik
Selama
periode Hellenistik, mitologi menjadi pengetahuan yang elit dan penuh dengan prestise dan menunjukkan bahwa pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu. Pada waktu yang sama, rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih disebarluaskan.
[75] Mitografer Yunani
Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar historis yang aktual untuk makhluk dan peristiwa mitologi.
[76] Meskipun karya aslinya,
Kitab Keramat, sudah hilang, namun banyak dari isinya yang kita ketahui karena telah dicatat oleh Diodoros dan
Lactantius.
[77]
[sunting] Rasionalisme Romawi
Patung kepala Cicero di
Kopenhagen.
Cicero melihat dirinya sebagai pembela tatanan yang teratur, terlepas dari skeptisisme pribadinya terhadap mitos dan kecenderungannya yang lebih menyukai konsepsi para dewa yang lebih bersifat filosofis.
Merasionalisasi
hermeneutika mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa
Kekaisaran Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari filsafat
Stoik dan
Epikurean. Orang-orang Stoik memberikan penjelasan bahwa para dewa dan pahlawan adalah fenomena fisika, sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan rasional bahwa tokoh-tokoh mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada saat yang sama, orang-orang Stoik dan
Neoplatonis mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologis, kadang didasarkan pada etimologi Yunani.
[78] Melalui pesan Epikureannya,
Lucretius berusaha membuang ketakutan takhayul dari pikiran warga Romawi.
[79]
Livius juga skeptis terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahwa dia tidak berniat membuat keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).
[80] Tantangan untuk bangsa Romawi yang memiliki rasa yang kuat dan apologetis terhadap
radisi keagamaan adalah untuk mempertahankan tradisi itu sambil mengakui bahwa itu seringkali menjadi asal mula lahirnya takhayul. Sejarawan
Varro, yang menganggap bahwa agama merupakan suatu institusi manusia dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal baik dalam msyarakat, melakukan studi yang teliti dan mempelajari asal muasal kultus keagamaan. Dalam karyanya
Antiquitates Rerum Divinarum (yang sudah hilang namun pendekatan umumnya dapat kita perkirakan dari karya
Augustinus,
Kota Tuhan) Varro berpendapat bahwa sementara orang yang percaya takhayul takut terhadap dewa, namun orang yang beragama menganggap para dewa sebagai orang tua mereka.
[79] Dalam karyanya, dia membedakan para dewa menjad tiga jenis:
- Dewa alam: personifikasi fenomena alam, misalnya hujan, api, musim.
- Dewa para penyair: diciptakan oleh para penyair yang tidak bermoral untuk membangkitkan hawa nafsu.
- Dewa perkotaan: diciptakan oleh para legislator yang bijaksana untuk menenangkan dan mencerahkan rakyat.
Akademisi Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia menyatakan secara tegas bahwa mitos tak punya tempat dalam filsafat.
[81] Cicero juga umumnya meremehkan mitos, namun, seperti Varro, dia berempati karena dia mendukung agama negara dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelas sosial yang dipengaruhi oleh rasionalisme ini.
[80] Cicero menegaskan bahwa tidak seorangpun (bahkan orang lanjut usia dan anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk mempercayai teror
Hades atau keberadaan
Skilla,
kentaur, atau berbagai makhluk campuran lainnya,
[82] namun, di sisi lain, Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh mengenai karakter orang-orang yang mudah percaya pada takhayul.
[83] De Natura Deorum adalah ikhtisar paling komprehensif mengenai jalan pikiran Cicero.
[84]
[sunting] Penggabungan
Apollo Belvedere, patung marmer buatan Romawi (antara 130–140 M), tiruan dari patung perunggu Yunani (antara 330–320 SM). Dalam agama Romawi kuno, pemujaan dewa
Apollo, yang berasal dari Yunani, digabungkan dengan kultus pemujaan
Sol Invictus. Bangsa Romawi menyembah Sol Invictus sebagai pelindung spesial kaisar, dan Sol Invitus menjadi dewa utama di Kekasairan Romawi sampai akhirnya digantikan oleh agama
Kristen.
Pada masa
Romawi kuno, lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi (penggabungan atau pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal ini terjadi karena bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan tradisi mitologi Yunani kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi mengadopsi ciri-ciri dewa Yunani yang menjadi padanan mereka.
[80] Dewa
Zeus dan
Yupiter merupakan salah satu contoh tumpang tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan dua tradisi mitologi, bangsa Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah Timur. Hal ini yang semakin memperkuat proses sinkretisasi.
[85] Sebagai contohnya, kultus pemujaan matahari diperkenalkan di Romawi setelah kaisar
Aurelianus sukses melaksanakan kampanye militer di
Suriah. Dewa dari Asia, yakni
Mithras (yang dapat disebut sebagai personifikasi matahari) dan
Ba'al dipadukan dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu dewa tunggal yang disebut
Sol Invictus, yang memiliki banyak atribut campuran dan dipuja dengan ritus gabungan.
[86] Apollo kemungkinan semakin sering diidentikkan dalam agama dengan Helios atau bahkan Dionisos, namun naskah-naskah mengenainya jarang memperlihatkan perkembangan semacam ini. Ini barangkali menunjukkan bahwa mitologi dalam sastra semakin lama semakin tidak berkaitan dengan kegiataan keagamaan yang sesungguhnya.
Kumpulan sajak
Saturnalia karya
Macrobius dan
Himne Orfik yang tersisa pada masa sekarang juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme dan tren sinkretisasi. Himne Orfik merupakan seperengkat komposisi puitis pra-Klasik yang diatribusikan atas nama Orfeus. Orfeus sendiri merupakan tokoh dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya, meskipun dihubungan dengan Orfeus, namun sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh beberapa penyair berbeda, dan mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropa prasejarah.
[87] Sementara itu tujuan dari dibuatnya
Saturnalia adalah untuk menyampaikan kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh oleh Macrobius dari hasil studinya, meskipun banyak penggambaran para dewa telah dipengaruhi oleh teologi dan mitologi Mesir dan Afrika Utara (yang juga mempengaruhi penafsiran Virgilus). Dalam
Saturnalia, kembali bermunculan komentar-komentar mitologi yang dipengaruhi oleh orang-orang Euhemeris, Stoik, dan Neoplatonis.
[78]
[sunting] Pemahaman modern
-
Munculnya pemahaman modern mengenai mitologi Yunani dianggap oleh para sejarawan sebagai reaksi ganda pada akhir abad kedelapan belas melawan "sikap tradisional rasa permusuhan Kristen", yang mana sikap agama Kristen, yang mengganggap bahwa mitos merupakan suatu "kebohongan" atau
fabel, telah dipertahankan.
[88] Di
Jerman, sekitar tahun 1795, berkembang rasa ketertarikan terhadap Homeros dan mitologi Yunani. Di
Göttingen,
Johann Matthias Gesner mulai membangkitkan kembali studi mitologi Yunani, sedangkan penerusnya,
Christian Gottlob Heyne, bekerja dengan
Johann Joachim Winckelmann, dan mendirikan dasar bagi riset mitologi baik di Jerman maupun di tempat-tempat lainnya.
[89]
Bagi
Karl Kerényi mitologi adalah "sekummpulan materi yang terkandung dalam kisah-kisah tentang makhluk mirip dewa, pertempuran pahlawan dan perjalanan ke Dunia bawah—
mythologem adalah kata Yunani yang terbaik untuk itu—kisah-kisahnya sudah banyak dikenal namun tidak dapat menerima pembentukan ulang".
[90] [sunting] Pendekatan psikoanalitis dan komparatif
Perkembangan filologi perbandingan pada abad ke-19, bersama dengan penemuan etologis pada abad ke-20, menjadikan munculnya ilmu mitos. Sejak masa Romantik, semua studi mitos telah menjadi ilmu perbandingan.
Wilhelm Mannhardt,
Sir James Frazer, dan
Stith Thompson menggunakan pendekatan perbandingan untuk mengumpulkan dan mengklasifikasikan tema-tema folklor dan mitologi.
[91] Pada tahun 1871
Edward Burnett Tylor menerbitkan karyanya,
Primitive Culture, yang di dalamnya dia menerapkan metode perbandingan serta berusaha untuk menjelaskan asal mula dan perkembangan agama.
[92] Prosedur Tylor yang secara bersama-sama menarik materi kebudayaan, ritual, dan mitos dari kebudayaan yang berbeda-beda berpengaruh pada
Carl Jung dan
Joseph Campbell.
Max Müller menerapkan ilmu baru mitologi perbandingan dalam studi mitos, yang mana dia menemukan sisa-sisa yang terdistorsi dari pemujaan alam
bangsa Arya.
Bronisław Malinowski menekankan cara mitos memenuhi fungsi-fungsi sosial yang umum. Sementara
Claude Lévi-Strauss dan para
strukturalis lainnya membandingkan hubungan formal dan pola-pola pada mitos di seluruh dunia.
[91]
Sigmund Freud memperkenalkan konsepsi biologis dan transhistoris mengenai manusia serta pendangan terhadap mitos sebagai suatu ekpsresi dari gagasan yang ditekan. Tafsir mimpi merupakan dasar dari interpretasi mitos Freud dan konsep Freud mengenai cara kerja mimpi mengenali pentingnya hubungan kontekstual untuk menafsirkan unsur individual apapun dalam sebuah mimpi. Menurut Freud, teorinya ini akan menemukan poin yang penting dalam penyesuaian antara pendekatan strukturalis dan psikoanalitis terhadap mitos.
[93] Carl Jung memperluas pendekatan psikologis dan transhistoris itu dengan teorinya mengenai "alam bawah sadar kolektif" dan arketipe (pola-pola "arkais" yang diturunkan), seringkali diulang-ulang dalam mitos, yang muncul dari itu.
[2] Menurut Jung, "unsur struktural pembentuk mitos pasti ada di alam bawah sadar".
[94] Membandingkan metodologi Jung dengan teori
Joseph Campbell, Robert A. Segal menyimpulkan bahwa "untuk menafsirkan mitos, Campbell secara sederhana mengidentifikasi arketipe di dalamnya. Interpretasi terhadap
Odisseia, misalnya, dapat menunjukkan bagaimana kehidupan Odisseus menyesuaikan diri dengan pola kepahlawanan. Berlawanan dengan Jung, yang berpendapat bahwa identifikasi arketipe hanya semata-mata langkah pertama dalam menfasirkan mitos".
[95] Karl Kerényi, salah satu pendiri studi modern mengenai mitologi Yunani, meninggalkan pandangan awalnya tentang mitos, supaya dapat menerapkan teori Jung pada mitologi Yunani.
[96]
[sunting] Teori asal usul
Max Müller dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu perbandingan mitologi. Dalam karyanya
Mitologi Perbandingan (1867) Müller menganalisa kemiripan yang "mengganggu" antara mitologi-mitologi dari "ras biadab" dengan mitologi milik bangsa Eropa awal.
Ada beragam teori modern mengenai asal usul mitologi Yunani. Menurut Teori Kitab, semua legenda mitologi berasal dari cerita-cerita dalam
naskah kuno, meskipun fakta nyata telah disamarkan dan dimodifikasi.
[97] Menurut Teori Sejarah semua orang yang disebutkan dalam mitologi dulunya merupakan manusia nyata, dan legenda mengenai mereka merupakan tembahan pada masa selanjutnya. Jadi cerita
Aiolos muncul dari fakta nyata bahwa Aiolos merupakan penguasa beberapa pulau di
Laut Tyrrhenia.
[98] Teori Alegori menyatakan bahwa semua mitos kuno bersifat simbolis dan merupakan alegori atau kiasan. Sementara Teori Fisik menyebutkan gagasan bahwa unsur-unsur semacam udara, api, dan air, pada awalnya merupakan obejk pemujaan relijius, sehingga dewa-dewa utama merupakan personifikasi dari kekuatan alam tersebut.
[99] Max Müller berupaya untuk memahami bentuk keagamaan
India-Eropa dengan cara melacaknya kembali pada
banga Arya, perwujudan "asli"nya. Pada tahun 1891, dia menyebutkan bahwa "penemuan terpenting yang pernah dibuat pada abad kesembilan belas dengan rasa hormat pada sejarah kuno umat manusia ... adalah persamaan sederhana ini:
Dyaus-pitar Sansakerta = Zeus Yunani =
Yupiter Latin =
Tyr Nordik Kuno".
Dalam kasus lainnya, kedekatan dalam hal karakter dan fungsi mengindikasikan adanya pewarisan umum, namun kurangnya bukti linguistik menjadikannya sulit untuk dibuktikan, seperti dalam perbandingan antara Uranus (Yunani) dengan
Varuna (Sansakerta) atau
Moirai (Yunani) dengan
Norn (Nordik).
[100] [101]
Di pihak lain, arkeologi dan mitografi telah mengungkapkan bahwa bangsa Yunani terilhami oleh beberapa peradaban di Asia Kecil dan Timur Dekat.
Adonis nampaknya merupakan padanan versi Yunani dari "dewa yang mati" dari daerah Timur Dekat, yang lebih jelas dalam kultus daripada dalam mitos. Dewi
Kibele berakar dari kebudayaan
Anatolia, yang juga merupakan tempat munculnya
ikonografi Afrodit dari dewi-dewi Semit. Ada juga kemungkinan kesetaraan antara generasi dewa terawal (Khaos dan anak-anaknya) dengan
Tiamat dalam
Enuma Elish.
[102] Menurut Meyer Reinhold, "konsep kedewaan Timur, yang melibatkan pergantian kekuasaan melalui kekerasan dan konflik antargenerasi demi kekuasaan, menemukan jalan mereka ... ke dalam mitologi Yunani".
[103]
Selain berasal dari India-Eropa dan Timur Dekat, beberapa sejarawan juga mengajukan pendapat bahwa mitologi Yunani dipengaruhi pula oleh peradaban pra-Hellenik, di antaranya peradaban di
Kreta,
Mykenai,
Pylos, Thebes dan
Orkhomenos.
[104] Para sejarawan agama terkagum-kagum oleh sejumlah konfigurasi kuno mengenai mitos yang berkaitan dengan Kreta (Zeus dan
Europe,
Banteng Kreta,
Minos,
Daidalos dan
Ikaros,
Minotaur, dll.). Profesor Martin P. Nilsson menyimpulkan bahwa semua mitos besar Yunani Klasik terikat pada pusat-pusat peradaban Mykenai dan berasal dari masa prasejarah.
[105] Namun demikian, menurut Burkert, ikonografi dari Periode Istana Kreta hanya memberikan sedikit informasi yang dapat mendukung teori ini.
[106]
[sunting] Dalam sastra dan seni
-
Agama Kristen yang menyebar secara luas tidak menghentikan kepopuleran mitologi Yunani. Dengan ditemukannya kembali antikuitas klasik pada
Abad Renaisans, sajak-sajak Ovidius memberi banyak pengaruh terhadap para penyair, penulis drama, musikus, dan seniman barat.
[107] Sejak tahun-tahun awal Renaisans, para seniman semacam
Leonardo da Vinci,
Michaelangelo Buonarroti, dan
Raffaello Sanzio, banyak menggambarkan tema-tema
Pagan mitologi Yunani bersama dengan tema-tema Kristen, yang lebih konvensional.
[107] Melalui bahasa Latin dan karya-karya Ovidius, mitologi Yunani mempengaruhi para penyair Abad Pertengahan dan Renaisans, misalnya
Petrarca,
Giovanni Boccaccio, dan
Dante Alighieri di Italia.
[2]
Di Eropa Utara, mitologi Yunani tidak memberi pengaruh dalam seni visual sebesar di daerah Eropa lainnya. Pengaruh mitologi Yunani di Eropa Utara lebih terlihat dalam sastra. Di Inggris, mitologi Yunani dalam sastra dipelopori oleh
Geoffrey Chaucer dan
John Milton, dan terus berlanjut melalui
William Shakespeare sampai
Robert Bridges pada abad ke-20.
Jean Racine di
Perancis dan
Johann Wolfgang von Goethe di
Jerman membangkitkan kembali drama Yunani, dan mengerjakan ulang mitos-mitos kuno.
[107] Meskipun pada
Zaman Pencerahan pada abad ke-18 muncul reaksi melawan mitologi Yunani yang menyebar di seluruh Eropa, mitologi Yunani terus menjadi sumber materi untuk para penulis drama, termasuk mereka yang menulis
libretto untuk banyak opera buatan
George Frideric Handel dan
Wolfgang Amadeus Mozart.
[108]
Pada akhir abad ke-18,
romantisisme memicu gerakan antusiasme terhadap segala hal tentang Yunani Kuno, termasuk mitologi Yunani. Di Britania, terjemahan baru drama tragedi Yunani serta karya-karya Homeros telah mengilhami penyair kontemporer, seperti
Alfred Lord Tennyson,
John Keats,
Byron dan
Percy Bysshe Shelley, juga para pelukis, misalnya
Lord Leighton dan
Lawrence Alma-Tadema.
[109] Christoph Willibald Gluck,
Richard Strauss,
Jacques Offenbach dan banyak lainnya memasukkan tema-tema mitologi Yunani ke dalam musik.
[2] Penulis Amerika pada abad ke-19, di antaranya
Thomas Bulfinch dan
Nathaniel Hawthorne, berpendapat bahwa pembelajaran mitos klasik adalah penting bagi pemahaman sastra Inggris dan Amerika.
[110] Pada masa yang lebih modern, tema-tema mitologi Yunani juga digunakan oleh para penulis drama seperti
Jean Anouilh,
Jean Cocteau, dan
Jean Giraudoux di Prancis,
Eugene O'Neill di Amerika, serta
T. S. Eliot di Britania dan oleh para novelis seperti
James Joyce dan
André Gide.
[2]
[sunting] Catatan kaki
- ^ "Volume: Hellas, Article: Greek Mythology". Encyclopaedia The Helios. (1952).
- ^ a b c d e f g h i "Greek Mythology". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ J.M. Foley, Homer's Traditional Art, 43
- ^ a b F. Graf, Greek Mythology, hlm. 200
- ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 1
- ^ a b c Miles, Classical Mythology in English Literature, hlm. 7
- ^ a b Klatt-Brazouski, Ancient Greek nad Roman Mythology, xii
- ^ Miles, Classical Mythology in English Literature, 8
- ^ P. Cartledge, The Spartans, hlm 60
- ^ P. Cartledge, The Greeks, hlm 22
- ^ Pasiphae, Encyclopedia: Greek Gods, Spirits, Monsters
- ^ Homeros, Iliad, 8. Satu wracarita tentang Pertempuran Troya. 366–369
- ^ Cuthbertson, Political Myth and Epic (Michigan State university Press) 1975
- ^ Albala-Johnson-Johnson, Understanding the Odyssey, hlm. 17
- ^ Albala-Johnson-Johnson, Understanding the Odyssey, hlm. 18
- ^ A. Calimach, Lovers' Legends: The Gay Greek Myths;, hlm. 12–109
- ^ W.A. Percy, Pederasty and Pedagogy in Archaic Greece, hlm. 54
- ^ a b K. Dowden, The Uses of Greek Mythology,hlm. 11
- ^ G. Miles, Classical Mythology in English Literature, hlm. 35
- ^ a b c W. Burkert, Greek Religion, hlm. 205
- ^ Hesiodos, Erga kai Hemerai, 90–105
- ^ Ovid/ius, Metamorphoses, I, 89–162
- ^ a b c Hamilton, Edith, Mitologi Yunani, hlm. vii-xii
- ^ Klatt-Brazouski, Ancient Greek and Roman Mythology, 10
- ^ a b Hesiod, Theogony, 116–138
- ^ Hesiodos, Theogonia 147-163
- ^ Hesiodos, Theogony, 713–735
- ^ Himne Homeros untuk Hermes, 414–435
- ^ G. Betegh, The Derveni Papyrus, 147
- ^ W. Burkert, Greek Religion, 236
* G. Betegh, The Derveni Papyrus, 147
- ^ "Greek Mythology". Encyclopaedia Britannica. (2002).
* K. Algra, The Beginnings of Cosmology, 45
- ^ H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, 8
- ^ "Greek Religion". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ J. Cashford, The Homeric Hymns, vii
- ^ G. Nagy, Greek Mythology and Poetics, 54
- ^ a b W. Burkert, Greek Religion, 182
- ^ a b H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, hlm. 4
- ^ H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, hlm. 20
- ^ G. Mile, Classical Mythology in English Literature, hlm. 38
- ^ G. Mile, Classical Mythology in English Literature, 39
- ^ Himne Homeros untuk Afrodit, 75–109
- ^ I. Morris, Archaeology As Cultural History, 291
- ^ J. Weaver, Plots of Epiphany, 50
- ^ R. Bushnell, A Companion to Tragedy, hlm. 28
- ^ K. Trobe, Invoke the Gods, hlm. 195
- ^ M.P. Nilsson, Greek Popular Religion, 50
- ^ Himne Homeros untuk Demeter, 255–274
- ^ F.W. Kelsey, An Outline of Greek and Roman Mythology, 30
- ^ F.W. Kelsey, An Outline of Greek and Roman Mythology, hlm. 30
H. J. Rose, A Handbook of Greek Mythology, hlm. 340
- ^ H. J. Rose, A Handbook of Greek Mythology, hlm. 10
- ^ C. F. Dupuis, The Origin of All Religious Worship,hlm. 86
- ^ a b "Heracles". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
* T. Papadopoulou, Heracles and Euripidean Tragedy, hlm. 1
- ^ a b W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
- ^ Herodotus, The Histories, I, 6–7
* W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
- ^ G.S. Kirk, Myth, hlm. 183
- ^ Apollodorus, Perpustakaan dan Epitome, 1.9.16
* Apollonios, Argonautika, I, 20ff
* Pindaros, Ode Pythia, Pythia 4.1
- ^ "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. (2002).
* P. Grimmal, The Dictionary of Classical Mythology, hlm. 58
- ^ "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ P. Grimmal, The Dictionary of Classical Mythology, hlm. 58
- ^ Y. Bonnefoy, Greek and Egyptian Mythologies, hlm. 103
- ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 317
- ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 311
- ^ "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. (1952).
* "Troy". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ J. Dunlop, The History of Fiction, hlm. 355
- ^ a b "Troy". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ a b "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. (1952).
- ^ D. Kelly, The Conspiracy of Allusion, hlm. 121
- ^ Albala-Johnson-Johnson, Understanding the Odyssey, 15
- ^ a b c Hanson-Heath, Who Killed Homer, hlm. 37
- ^ a b c J. Griffin, Greek Myth and Hesiod, hlm. 80
- ^ a b F. Graf, Greek Mythology, hlm. 169–170
- ^ Plato, Theaetetus, 176b
- ^ Plato, Apology, 28b-d
- ^ M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 89
- ^ "Eyhemerus". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 7
- ^ a b J. Chance, Medieval Mythography, hlm. 69
- ^ a b P.G. Walsh, The Nature of Gods (Introduction), hlm. xxvi
- ^ a b c M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 88
- ^ M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 87
- ^ Cicero, Tusculanae Disputationes, 1.11
- ^ Cicero, De Divinatione, 2.81
- ^ P.G. Walsh, The Nature of Gods (Introduction), xxvii
- ^ North-Beard-Price, Religions of Rome, hlm. 259
- ^ J. Hacklin, Asiatic Mythology, hlm. 38
- ^ Sacred Texts, Himne Orfik
- ^ Robert Ackerman, 1991. Introduction to Jane Ellen Harrison's "A Prolegomena to the Study of Greek Religion", xv
- ^ F. Graf, Greek Mythology, hlm. 9
- ^ Jung-Kerényi, Essays on a Science of Mythology, hlm. 1–2
- ^ a b "myth". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- ^ D. Allen, Structure and Creativity in Religion, 9
* Robert A. Segal, Theorizing about Myth, 16
- ^ R. Caldwell, The Psychoanalytic Interpretation of Greek Myth, hlm. 344
- ^ C. Jung, The Psychology of the Child Archetype, hlm. 85
- ^ R. Segal, The Romantic Appeal of Joseph Campbell, hlm. 332–335
- ^ F. Graf, Greek Mythology, hlm. 38
- ^ T. Bulfinch, Bulfinch's Greek and Roman Mythology, hlm. 241
- ^ T. Bulfinch, Bulfinch's Greek and Roman Mythology, hlm. 241–242
- ^ T. Bulfinch, Bulfinch's Greek and Roman Mythology, 242
- ^ H.I. Poleman, Review, 78–79
* A. Winterbourne, When the Norns Have Spoken, 87
- ^ D. Allen, Religion, hlm. 12
- ^ L. Edmunds, Approaches to Greek Myth, 1hlm. 84
* Robert A. Segal, A Greek Eternal Child, 64
- ^ M. Reinhold, The Generation Gap in Antiquity, hlm. 349
- ^ W. Burkert, Greek Religion, hlm. 23
- ^ M. Wood, In Search of the Trojan War, hlm. 112
- ^ W. Burkert, Greek Religion, hlm. 24
- ^ a b c "Greek mythology". Encyclopaedia Britannica. (2002).
* L. Burn, Greek Myths, hlm. 75
- ^ l. Burn, Greek Myths, hlm. 75
- ^ l. Burn, Greek Myths, hlm. 75–76
- ^ Klatt-Brazouski, Ancient Greek and Roman Mythology, hlm. 4
- Aiskhylos, Persai. Lihat teks asli di Perseus program.
- Aiskhylos, Prometheus Desmotes. Lihat teks asli di Perseus program.
- Apollodoros, Bibliotheke dan Epitome. Lihat teks asli di Perseus program.
- Apollonios dari Rodos, Argonautika, Buku I. Lihat teks asli di Sacred Texts.
- Cicero, De Divinatione. Lihat teks asli di Latin Library.
- Cicero, Tusculanae resons. Lihat teks asli di Latin Library.
- Herodotos, Historia, I. Lihat teks asli di Sacred Texts.
- Hesiodos, Erga kai Hemerai. Terjemahan bahasa Inggris oleh Hugh G. Evelyn-White.
- Hesiodos, Theogonia
- Homeros, Iliad. Lihat teks asli di Perseus program.
- Himne Homeros untuk Afrodit. Terjemahan bahasa Inggris oleh Gregory Nagy.
- Himne Homeros untuk Demeter. Lihat teks asli di Perseus project.
- Himne Homeros untuk Hermes. Lihat terjemahan bahasa Inggris di Online Medieval and Classical Library.
- Ovidius, Metamorphoses. Lihat teks asli di Latin Library.
- Pausanias, Hhellados Periegesis
- Pindaros, Ode Pythia, Pythia 4: Untuk Balap Kereta Perang Arkesilas dari Kyrene 462 BC. Lihat teks asli di Perseus program.
- Plato, Apologia. Lihat teks asli di Perseus program.
- Plato, Theaitetos. Lihat teks asli di Perseus program.
[sunting] Sumber modern
- Ackerman, Robert (1991—Reprint edition). "Introduction". Prolegomena to the Study of Greek Religion by Jane Ellen Harrison. Princeton University Press. ISBN 0-691-01514-7.
- Albala Ken G, Johnson Claudia Durst, Johnson Vernon E. (2000). "Origin of Mythology". Understanding the Odyssey. Courier Dover Publications. ISBN 0-486-41107-9.
- Algra, Keimpe (1999). "The Beginnings of Cosmology". The Cambridge Companion to Early Greek Philosophy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-44667-8.
- Allen, Douglas (1978). "Early Methological Approaches". Structure & Creativity in Religion: Hermeneutics in Mircea Eliade's Phenomenology and New Directions. Walter de Gruyter. ISBN 90-279-7594-9.
- "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- Betegh, Gábor (2004). "The Interpretation of the poet". The Derveni Papyrus. Cambridge University Press. ISBN 0-521-80108-7.
- Bonnefoy, Yves (1992). "Kinship Structures in Greek Heroic Dynasty". Greek and Egyptian Mythologies. University of Chicago Press. ISBN 0-226-06454-9.
- Bulfinch, Thomas (2003). "Greek Mythology and Homer". Bulfinch's Greek and Roman Mythology. Greenwood Press. ISBN 0-313-30881-0.
- Burkert, Walter (2002). "Prehistory and the Minoan Mycenaen Era". Greek Religion: Archaic and Classical (translated by John Raffan). Blackwell Publishing. ISBN 0-631-15624-0.
- Burn, Lucilla (1990). Greek Myths. University of Texas Press. ISBN 0-292-72748-8.
- Bushnell, Rebecca W. (2005). "Helicocentric Stoicism in the Saturnalia: The Egyptian Apollo". Medieval A Companion to Tragedy. Blackwell Publishing. ISBN 1-4051-0735-9.
- Chance, Jane (1994). "Helicocentric Stoicism in the Saturnalia: The Egyptian Apollo". Medieval Mythography. University Press of Florida. ISBN 0-8130-1256-2.
- Caldwell, Richard (1990). "The Psychoanalytic Interpretation of Greek Myth". Approaches to Greek Myth. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-3864-9.
- Calimach, Andrew (2002). "The Cultural Background". Lovers' Legends: The Gay Greek Myths. Haiduk Press. ISBN 0-9714686-0-5.
- Cartledge, Paul A. (2002). "Inventing the Past: History v. Myth". The Greeks. Oxford University Press. ISBN 0-19-280388-3.
- Cartledge, Paul A. (2004). The Spartans (translated in Greek). Livanis. ISBN 960-14-0843-6.
- Cashford, Jules (2003). "Introduction". The Homeric Hymns. Penguin Classics. ISBN 0-14-043782-7.
- Dowden, Ken (1992). "Myth and Mythology". The Uses of Greek Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-06135-0.
- Dunlop, John (1842). "Romances of Chivalry". The History of Fiction. Carey and Hart. ISBN 1149403381.
- Edmunds, Lowell (1980). "Comparative Approaches". Approaches to Greek Myth. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-3864-9.
- "Euhemerus". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- Foley, John Miles (1999). "Homeric and South Slavic Epic". Homer's Traditional Art. Penn State Press. ISBN 0-271-01870-4.
- Gale, Monica R. (1994). "The Cultural Background". Myth and Poetry in Lucretius. Cambridge University Press. ISBN 0-521-45135-3.
- "Greek Mythology". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- "Greek Religion". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- Griffin, Jasper (1986). "Greek Myth and Hesiod". The Oxford Illustrated History of Greece and the Hellenistic World edited by John Boardman, Jasper Griffin and Oswyn Murray. Oxford University Press. ISBN 0-19-285438-0.
- Grimal, Pierre (1986). "Argonauts". The Dictionary of Classical Mythology. Blackwell Publishing. ISBN 0-631-20102-5.
- Hacklin, Joseph (1994). "The Mythology of Persia". Asiatic Mythology. Asian Educational Services. ISBN 81-206-0920-4.
- Hanson, Victor Davis; Heath, John (1999). Who Killed Homer (translated in Greek by Rena Karakatsani). Kaktos. ISBN 960-352-545-6.
- Hard, Robin (2003). "Sources of Greek Myth". The Routledge Handbook of Greek Mythology: based on H. J. Rose's "A Handbook of Greek mythology". Routledge (UK). ISBN 0-415-18636-6.
- "Heracles". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- Jung Carl Gustav, Kerényi Karl (2001—Reprint edition). "Prolegomena". Essays on a Science of Mythology. Princeton University Press. ISBN 0-691-01756-5.
- Jung, C.J. (2002). "Troy in Latin and French Joseph of Exeter's "Ylias" and Benoît de Sainte-Maure's "Roman de Troie"". Science of Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-26742-0.
- Kelly, Douglas (2003). "Sources of Greek Myth". An Outline of Greek and Roman Mythology. Douglas Kelly. ISBN 0-415-18636-6.
- Kelsey, Francis W. (1889). A Handbook of Greek Mythology. Allyn and Bacon.
- Kirk, Geoffrey Stephen (1973). "The Thematic Simplicity of the Myths". Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures. University of California Press. ISBN 0-520-02389-7.
- Kirk, Geoffrey Stephen (1974). The Nature of Greek Myths. Harmondsworth: Penguin. ISBN 0-14-021783-5.
- Klatt J. Mary, Brazouski Antoinette (1994). "Preface". Children's Books on Ancient Greek and Roman Mythology: An Annotated Bibliography. Greenwood Press. ISBN 0-313-28973-5.
- Lexicon Iconographicum Mythologiae Classicae. (1981–1999). Artemis-Verlag.
- Miles, Geoffrey (1999). "The Myth-kitty". Classical Mythology in English Literature: A Critical Anthology. University of Illinois Press. ISBN 0-415-14754-9.
- Morris, Ian (2000). Archaeology As Cultural History. Blackwell Publishing. ISBN 0-631-19602-1.
- "myth". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- Nagy, Gregory (1992). "The Hellenization of the Indo-European Poetics". Greek Mythology and Poetics. Cornell University Press. ISBN 0-8014-8048-5.
- Nilsson, Martin P. (1940). "The Religion of Eleusis". Greek Popular Religion. Columbia University Press.
- North John A., Beard Mary, Price Simon R.F. (1998). "The Religions of Imperial Rome". Classical Mythology in English Literature: A Critical Anthology. Cambridge University Press. ISBN 0-521-31682-0.
- Papadopoulou, Thalia (2005). "Introduction". Heracles and Euripidean Tragedy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-85126-2.
- Percy, William Armostrong III (1999). "The Institutionalization of Pederasty". Pederasty and Pedagogy in Archaic Greece. Routledge (UK). ISBN 0-252-06740-1.
- Poleman, Horace I. (March 1943). "Review of "Ouranos-Varuna. Etude de mythologie comparee indo-europeenne by Georges Dumezil"". "Journal of the American Oriental Society" (American Oriental Society) 63 (1): 78–79.
- Reinhold, Meyer (October 20, 1970). "The Generation Gap in Antiquity". "Proceedings of the American Philosophical Society" (American Philosophical Society) 114 (5): 347–365.
- Rose, Herbert Jennings (1991). A Handbook of Greek Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-04601-7.
- Segal, Robert A. (1991). "A Greek Eternal Child". Myth and the Polis edited by Dora Carlisky Pozzi, John Moore Wickersham. Cornell University Press. ISBN 0-8014-2473-9.
- Segal, Robert A. (April 4, 1990). "The Romantic Appeal of Joseph Campbell". "Christian Century" (Christian Century Foundation).
- Segal, Robert A. (1999). "Jung on Mythology". Theorizing about Myth. Univ of Massachusetts Press. ISBN 1-55849-191-0.
- Stoll, Heinrich Wilhelm (translated by R. B. Paul) (1852). Handbook of the religion and mythology of the Greeks. Francis and John Rivington.
- Trobe, Kala (2001). "Dionysus". Invoke the Gods. Llewellyn Worldwide. ISBN 0-7387-0096-7.
- "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. (1952).
- "Troy". Encyclopaedia Britannica. (2002).
- "Volume: Hellas, Article: Greek Mythology". Encyclopaedia The Helios. (1952).
- Walsh, Patrick Gerald (1998). "Liberating Appearance in Mythic Content". The Nature of the Gods. Oxford University Press. ISBN 0-19-282511-9.
- Weaver, John B. (1998). "Introduction". The Plots of Epiphany. Walter de Gruyter. ISBN 3-11-018266-1.
- Winterbourne, Anthony (2004). "Spinning and Weaving Fate". When the Norns Have Spoken. Fairleigh Dickinson University Press. ISBN 0-8386-4048-6.
- Wood, Michael (1998). "The Coming of the Greeks". In Search of the Trojan War. University of California Press. ISBN 0-520-21599-0.
[sunting] Bacaan lanjutan
- Gantz, Timothy (1993). Early Greek Myth: A Guide to Literary and Artistic Sources. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-4410-X.
- Graves, Robert (1955—Cmb/Rep edition 1993). The Greek Myths. Penguin (Non-Classics). ISBN 0-14-017199-1.
- Hamilton, Edith (1942—New edition 1998). Mythology. Back Bay Books. ISBN 0-316-34151-7.
- Kerenyi, Karl (1951—Reissue edition 1980). The Gods of the Greeks. Thames & Hudson. ISBN 0-500-27048-1.
- Kerenyi, Karl (1959—Reissue edition 1978). The Heroes of the Greeks. Thames & Hudson. ISBN 0-500-27049-X.
- Morford M.P.O., Lenardon L.J. (2006). Classical Mythology. Oxford University Press. ISBN 0-19-530805-0.
- Powell, Barry (2008 —6th edition). Classical Myth. Prentice-Hall. ISBN 978-0-13-606171-7.
- Powell, Barry (2001). A Short Introduction to Classical Myth. Prentice-Hall. ISBN 978-0-13-025839-7.
- Ruck Carl, Staples Blaise Daniel (1994). The World of Classical Myth. Carolina Academic Press. ISBN 0-89089-575-9.
- Smith, William (1870), Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology.
- Veyne, Paul (1988). Did the Greeks Believe in Their Myths? An Essay on Constitutive Imagination. (translated by Paula Wissing). University of Chicago. ISBN 0-226-85434-5.
- Woodward, Roger D. (editor) (2007). The Cambridge Companion to Greek Mythology. Cambridge ; New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-84520-3.
[sunting] Pranala luar
[tampilkan] Kelompok dewa dalam Mitologi Yunani |
|